Masyarakat Makkah

Muhammad Abu Jaisy

Dalam kontek sejarah Islam, masyarakat Makkah dapat dibagi dalam empat masa: (1) Masyarakat Makkah pra bi'tsah (diangkatnya Muhammad bin 'Abdillah sebagai Nabi); (2) Masyarakat Makkah pasca bi'tsah; (3) Masyarakat Makkah pasca hijrah, dan; (4) Masyarakat Makkah pasca futuh.
Pada kesempatan ini, hanya akan dibahas secara singkat dan sederhana tentang masyarakat Makkah pra dan pasca bi'tsah saja.

Masyarakat Makkah pra Bi'tsah
Di sini kita akan mencoba menelusuri kejayaan Quraisy di Makkah yang pada akhirnya berhasil membawa Makkah menjadi Baladan Aminan dan menjadi Ummul Qura bagi seluruh wilayah Jazirah 'Arab, khususnya Hijaz Merdeka; dan inti atau sumber yang menjadikan mereka disebut 'Masyarakat Jahiliyyah'.
Kejayaan Quraisy di Makkah bukan merupakan sesuatu yang sekonyong-konyong mereka dapatkan, dan bukan juga merupakan hadiah cuma-cuma, tetapi benar-benar merupakan hasil kerja keras mereka selama berabad-abad. Sepanjang yang dapat ditelusuri, bermula dari kegigihan dan kekeras-kepalaan Fihr bin Malik untuk tetap bertahan di Makkah terhadap Khuza'ah, bangsa asing dari Yaman yang pada saat itu menguasai Makkah, setelah mereka berhasil merebut kekuasaan Makkah dari tangan Jurhum.
Perlawanan Fihr ini baru berhasil setelah berlalu lima generasi. Qushaiy bin Kilab, keturunannya yang keenam, berhasil merebut kekuasaan atas Makkah dari tangan Khuza'ah, tanpa kekerasan. Berkat bantuan dari seluruh keturunan Adnan (Fihr adalah keturunan Adnan yang kesepuluh) yang selama masa kekuasaan Khuza'ah atas Makkah menyebar ke berbagai penjuru Jazirah 'Arab dan berhasil membangun kekuatan, Qushaiy kemudian berhasil mengusir Khuza'ah dari Makkah dan mematahkan perlawanan-perlawanan mereka yang berusaha hendak kembali menguasai Makkah.
Di tangan Qushaiy, Makkah menjadi Baladan Aminan (Kota yang aman) dengan cara Qushaiy mengganti sistem pemerintahan 'Monarkhi' ala Khuza'ah menjadi pemerintahan 'Aristodemokrasi' yang lembaganya dinamai Dar an-Nadwah.
Sesudah Qushaiy, Makkah semakin maju ke depan menjadi Ummul Qura (Kota yang dipertahankan bersama oleh seluruh suku-suku 'Arab yang terikat persekutuan dengan Makkah), di tangan Hasyim bin 'Abdu Manaf, cucu Qushaiy. Mulanya Hasyim berhasil mengisi kekosongan dalam perdagangan internasional pada masanya yang timbul akibat peperangan antara dua adikuasa saat itu, Romawi dan Persia. Setelah dia berhasil mendapatkan jaminan keamanan dari Kaisar Romawi bagi para saudagar Makkah untuk berdagang ke Syria, bersama-sama dengan saudara-saudara seayahnya, 'Abdu Syams, Nawfal dan Muththalib, yang masing-masing juga berhasil mendapatkan keamanan dari Raja Yaman, Kisra Persia dan Najasyi Habasyah, Hasyim menentukan rencana perjalanan Kafilah Dagang Makkah, dua kali dalam setahun; ke selatan di musim dingin dan ke utara di musim panas, yang pada akhirnya berhasil mengubah perdagangan Makkah dari lokal menjadi berskala internasional. Dalam menjaga keamanan dan keberlangsungan perdagangan tersebut yang sangat tergantung pada sikap dari berbagai suku, baik yang tinggal di jalur-jalur perdagangan maupun yang memproduksi barang-barang perdagangan, maka Hasyim menawarkan kepada mereka 'kerja sama'. Untuk itu Hasyim menggunakan berbagai pendekatan: (1) Pendekatan 'keagamaan' kepada mereka yang memiliki rasa hormat dan memiliki terhadap Tanah Haram, Ka'bah dan bulan-bulan Haram; (2) Pendekatan 'ekonomi' kepada mereka yang murni hanya selaku produsen barang; dan (3) Pendekatan 'sosial' kepada mereka yang tidak termasuk kelompok pertama dan atau kelompok kedua, tetapi tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pertahanan dan keamanan (perdagangan) Makkah.
Kelompok pertama kemudian terikat dalam persekutuan yang dinamakan Ahlullah (Keluarga Allah) atau Al-Hums (Ksatria Pengayom Agama). Kelompok kedua terikat dalam persekutuan yang dinamakan al-Haf; sedangkan kelompok ketiga terikat dalam persekutuan Al-Jiwar; yang pada akhirnya semua persekutuan itu menjadikan Makkah Ummul Qura, dan menjadikan semakin berkibarlah keturunan Fihr dengan julukan Quraisy, sebuah nama yang menunjukkan berbagai macam makna; bisa berarti Qirsy (hewan laut yang kuat dan ganas), Qarrasya (berpencaharian sebagai pedagang), maupun Taqarrasya (memperhatikan kekurangan orang lain dan menutupinya).
Kejayaan Quraisy semakin menjadi legenda di bawah pimpinan Muthalib dan 'Abdul Muthalib. Muthalib adalah seorang pejabat Rifada dan Siqaya yang menggantikan Hasyim, yang karena dedikasinya terhadap Ka'bah dan para peziarahnya, ia mendapat kehormatan tinggi di antara bangsa Arab dan mendapatkan julukan sebagai Al-Faiz, yang murah hati. Adapun 'Abdul Muthalib, seperti halnya Hasyim, ayahnya, ia memperoleh posisi yang tidak diperselisihkan lagi di antara bangsa 'Arab, karena sifatnya yang murah hati dan tidak pernah buruk sangka. Kebijaksanaan, kelihaian dan akhlaq memerintahnya yang mulia menyebabkan ia dapat menjadi tokoh utama Makkah selama kira-kira 59 tahun, sesudah Muthalib, ayah angkatnya.
Ada dua hal utama yang disandarkan kepada 'Abdul Muthalib. Pertama, adalah keberhasilannya menemukan dan memfungsikan kembali sumur zam-zam yang telah lama hilang tertimbun pasir. Kedua, adalah kebijaksanaan dan keperwiraannya dalam menghadapi ambisi Abrahah dan pasukan gajahnya yang ingin menghancurkan Ka'bah. Terakhir, keberhasilan Quraisy mematahkan 'Agresi Militer' Hawazin, yang terkenal dengan nama Harb al-Fijar (25 atau 15 tahun sebelum bi'tsah), semakin menguatkan pengaruh Quraisy di Jazirah Arab, sebagai satu-satunya bangsa yang tak tertandingi. Sayangnya, keberhasilan-keberhasilan dan kemajuan-kemajuan Quraisy dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan militer ini, tidak membawa mereka beranjak dari keadaan mereka yang dalam terminologi agama dinamakan 'Masyarakat Jahiliyah'. Mengapa?
Kata 'Jahiliyah' di dalam al-Qur'an digunakan secara umum untuk menunjukkan segala sesuatu yang salah, yang menyimpang dari dan bertentangan dengan kebenaran. Keyakinan dan faham yang salah tentang Allah, al-Qur'an menyebutnya zhann al-jahiliyyah (3:154); hukum dan pemerintah yang salah, disebutnya hukm al-jahiliyyah (5:50); perilaku individual atau sosial yang salah, disebutnya tabarraj al-jahiliyyah (33:33); dan kebanggaan atau fanatisme yang salah, disebutnya hamiyyat al-jahiliyyah (48:26). Lebih menarik lagi, empat ayat tersebut turun setelah hijrah atau setelah Rasulullah saw memiliki Madinah; dan dua ayat pertama yang disebutkan menurut asbab an-nuzul turun mengomentari keyakinan dan faham serta perilaku berhukum dan berpemerintahan yang salah berkembang di lingkungan warga Madinah. Jelasnya, ayat pertama diturunkan berkenaan dengan keyakinan dan faham yang salah dari salah seorang prajurit di barisan Islam pada waktu perang Uhud. Ayat kedua diturunkan berkenaan dengan perilaku berhukum dan berpemerintahan yang salah dari sebagian orang Yahudi warga Madinah.
Menilai suatu keyakinan atau faham suatu masyarakat adalah zhann jahiliyyah, hukum dan pemerintahan atau perilaku hukum dan pemerintahan mereka adalah hukm jahiliyyah, perilaku individual dan sosial mereka adalah tabarraj jahiliyyah, serta kebanggaan atau fanatisme mereka adalah hamiyyat jahiliyyah; sehingga secara keseluruhannya masyarakat tersebut adalah 'Masyarakat Jahiliyyah', tidaklah mudah sebelum kita menemukan 'inti' atau 'sumber' kesalahan mereka. Cobalah bayangkan kondisi Mesir sebelum dikuasai oleh Nabi Yusuf as. Al-Qur'an menceritakan bahwa ketika Yusuf, yang pada saat itu berstatus sebagai budak, diajukan ke pengadilan oleh Julaikha, yang pada saat itu berstatus sebagai isteri salah seorang pembesar Mesir, dengan tuduhan 'pelecehan' terhadapnya, proses pengadilan yang dilakukan benar-benar berjalan di atas 'asas praduga tak bersalah', dan Yusuf mendapat pengacara yang benar-benar tidak memihak kecuali kepada kebenaran yuridis-konstitusional dan fakta yang jelas. Sehingga pengadilan benar-benar berjalan di atas rel 'keadilan' dan 'persamaan hak dan jaminan yang sama di hadapan hukum', yang pada akhirnya benar-benar pengadilan itu melahirkan keputusan yang 'adil'. Tidak peduli Yusuf hanya seorang budak, jika ia terbukti tidak bersalah, pengadilan akan berpihak kepadanya; dan bagi Julaikha, walaupun seorang isteri pejabat, jika fakta menunjukkan bahwa tuduhannya kepada Yusuf itu tidak berdasar, maka pengadilan tidak akan pernah memenangkan perkaranya (12:25-29).
Demikian pula ketika Raja Mesir pada waktu itu mengangkat Yusuf duduk menjabat suatu urusan dalam pemerintahannya. Ia tidak hanya memilih Yusuf berdasarkan laporan dari anak buahnya, juga tidak hanya menjadikan latar belakang Yusuf sebagai pertimbangan satu-satunya, tetapi ia 'berdialog langsung' dengan Yusuf, benar-benar bersih dari 'KKN' (12:43-56).
Jika melihat dua peristiwa ini saja, dapatkah dengan mudah mengatakan dan menerima bahwa pengadilan dan pemerintahan yang 'bersih' seperti di Mesir saat itu jahiliyyah? Tentu saja tidak. Kecuali setelah membaca ayat: "Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah." (12:106)
Dengan ayat itu jelas, inti atau sumber yang menyebabkan keyakinan atau faham suatu masyarakat adalah zhann jahiliyyah, hukum dan pemerintahan atau perilaku hukum dan pemerintahan mereka adalah hukm jahiliyyah, perilaku individual dan sosial mereka adalah tabarraj jahiliyyah, serta kebanggan dan fanatisme mereka adalah hamiyyat jahiliyyah; sehingga secara keseluruhannya masyarakat tersebut adalah 'Masyarakat Jahiliyyah'; adalah syirk bi llah: Penyekutuan terhadap dan kepada Allah. Dengan kata lain 'Masyarakat Jahiliyyah' adalah 'Masyarakat Syirk' atau 'Masyarakat yang hidup dalam Syirk'. Kemudian dengan menelaah ayat-ayat al-Qur'an, maka akan tampak jelaslah bahwa penyekutuan mereka kepada dan terhadap Allah ada dua kategori:
1) Mereka mempersekutukan dengan Allah oknum-oknum tertentu, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, baik benda-benda hidup maupun benda-benda mati, baik manusia maupun hewan, bahkan mereka persekutukan jin-jin, para Malaikat dan Nabi-nabi dengan Allah di bidang metafisika, bahwa yang mereka persekutukan dengan Allah itu diyakini turut berkuasa menentukan kudrat, hukum sebab-akibat dan mengendalikan situasi di alam semesta ini. Oleh karena itu, mereka tidak hanya memanjatkan doa kepada Allah, akan tetapi kepada yang mereka persekutukan dengan Allah. Kepada Allah dan kepada yang dipersekutukan dengan Allah itulah mereka pun mengada-adakan upacara-upacara keagamaan, peribadatan-peribadatan dan pengorbanan-pengorbanan atau sajian-sajian (6:136).
2) Mereka tidak mengakui bahwa kedaulatan dan hak menggariskan hukum di bidang politik, sosial dan ekonomi itu di tangan Allah. Oleh karena itu, mereka angkat para pendeta atau kepala-kepala suku untuk menentukan dan mengendalikan semua bidang tersebut, menurut kebijakan pendapat mereka semata-mata atau berdasarkan kepada kebijakan-kebijakan yang pernah ditetapkan oleh nenek moyang mereka yang tidak mengacu kepada hukum-hukum Allah (2:170, 6:137, 5:50, 9:31).
Itulah sebabnya ajaran para Rasul dimana dan kapanpun sama, intinya adalah menyerukan tauhid; Laa ilaaha illallah (21:25).

Masyarakat Makkah pasca Bi'tsah
Di sini kita akan mencoba meninjau secara singkat dan sederhana masyarakat Makkah sesudah bi'tsah Rasul. Tepatnya setelah diturunkannya surat al-'Alaq ayat 1-5 kepada Nabi saw; kemudian turun surat al-Muddatstsir ayat 1-7; lalu turun ayat 216 surat asy-Syu'ara dan ayat 94 surat al-Hijr; dimana Nabi kemudian menyampaikan peringatan secara terbuka (jahriyyah).
Bi'tsah Rasul tersebut menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Makkah ketika itu. Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik seruan Rasulullah saw; dan sebagian besar yang lain menolak seruan itu dengan berbagai alasan dan kemudian mulai melancarkan permusuhan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sesudah bi'tsah, masyarakat Makkah tidak lagi homogen, dalam arti satu, Masyarakat Jahiliyyah, tetapi telah berpecah belah menjadi dua golongan, yaitu 'Masyarakat Jahiliyyah' dan 'Masyarakat Islam'.
Masyarakat Islam di Makkah adalah hasil dari mubaya'ah atau bai'at antara seseorang dengan Rasulullah saw, apabila orang hendak masuk Islam, mengikatkan diri pada sebuah struktur yang baru (din al-Islam) dan melepaskan dirinya dari keterikatannya pada tertib dan sistem masyarakat yang lama (din ghair al-Islam), yang tidak sesuai dan tidak menjalankan Islam.
Pada masa itu masyarakat Islam hidup dalam keminoritasan (aqlaliyyat), ketertindasan (adh 'afiyyat) dan ancaman bahaya yang bisa datang sewaktu-waktu secara tiba-tiba (akhwafiyyat) sebagaimana yang diingatkan kembali oleh Allah kepada mereka ketika sudah menempati Madinah: "Dan ingatlah ketika kalian masih berjumlah sedikit lagi tertindas di negeri Makkah; kalian selalu diliputi kekhawatiran kalau-kalau orang-orang akan menangkap kalian." (8:26)
Keadaan tersebut menimbulkan beberapa fenomena dalam gerakan Islam pada saat itu, di antaranya:
1) Melakukan da'wah secara terbatas, dan merahasiakan gerakan dan pengorganisasian perlawanan (Siriyyat ad-Da'wah wa at-Tanzhim);
2) Memecah konsentrasi barisan ke dalam berbagai regu dan wilayah, yang satu sama lainnya tidak berhubungan secara horisontal (Aktsara at-Tajammu');
3) Menyembunyikan keimanan (Kitman);
4) Memanfaatkan undang-undang jahiliyyah untuk menyelamatkan barisan atau membuka peluang lebih baik untuk kemajuan da'wah Islam (Istifadah).


Daftar Pustaka
1) Moenawar Chalil, "Kelengkapan Tarikh Muhammad saw" Jilid IA
2) M.A.Shaban, "Sejarah Islam"
3) Fuad Hashem, "Sirah Muhammad Rasulullah"
4) Abdul Quddus Al-Anshariy, "Sejarah Ka'bah Sebelum Islam"
5) H.O.S.Tjokroaminoto, "Tarikh Agama Islam"
6) Majid Ali Khan, "Muhammad saw Rasul Terakhir"
7) Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, "Sirah Nabawiyah"
8) Abd. Muin Salim, "Fiqh Siyasah"
9) Salman Al-Audah, "Generasi Ghuraba"
10) Munir A.Ghadban, "Manhaj Haraki" Jilid I