Masyarakat Madinah

Yahdian Abu Zaki

Madinah adalah nama pengganti dari Yatsrib yang diberikan oleh Rasulullah saw, secara etimologis Madinah sendiri merupakan kata benda yang menunjukkan tempat yang artinya adalah tempat yang dikuasai. Nama Yatsrib sendiri diberikan oleh orang-orang Jahiliyyah, sedangkan Allah swt menamainya Thayyibah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Samurah yang mengatakan "Orang Jahiliyyah dulu menyebut Madinah dengan Yatsrib, kemudian Rasulullah saw menyebutnya Thayyibah."
Perubahan nama tersebut dilakukan Rasulullah saw segera setelah beliau hijrah dari Makkah ke Yatsrib. Hijrah itu sendiri merupakan langkah awal proses terbentuknya Daulah Islamiyah pertama di muka bumi pada saat itu. Hijrah itu merupakan pernyataan berdirinya Negara Islam Madinah di bawah pimpinan Rasulullah Muhammad saw. Sistem yang dibangun Rasulullah saw di Madinah memenuhi syarat-syarat nominal untuk disebut sebagai sebuah negara.
Tulisan ini bermaksud memotret bagaimana kondisi masyarakat Madinah pasca hijrah Rasulullah saw; yang dimaksud dengan masyarakat Madinah dalam tulisan ini adalah masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah saw dalam satu ikatan Tauhid dengan sistem pemerintahan Islam. Secara umum masyarakat Madinah pasca hijrah dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu:
1) Periode pertama dari mulai hijrahnya Rasulullah saw sampai masa Qital membela diri.
2) Periode kedua dari mulai masa qital membela diri sampai dengan teratifikasinya Perjanjian Hudaibiyah.
3) Periode ketiga dari mulai diratifikasinya naskah Perjanjian Hudaibiyah sampai dengan terjadinya pembukaan kota Makkah (futuh Makkah).
4) Periode keempat keadaan masyarakat Madinah pasca futuh.
Sesuai dengan judul tulisan ini, maka yang akan dibahas adalah keadaan masyarakat Madinah dalam dua periode pertama.

Periode Pertama

Periode pertama ini berlangsung selama kurang lebih dua tahun, dimulai dari bulan Rabi'ul awal tahun 1H sampai dengan bulan Rajab tahun 2H. Selama rentang waktu ini Rasulullah saw menerapkan asas-asas penting dari Negara Islam Madinah.
Asas yang pertama adalah pembangunan masjid.
Pembangunan masjid merupakan langkah pertama Rasulullah saw untuk menegakkan masyarakat Islam yang kokoh dan terpadu yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin. Hal ini dikarenakan masyarakat Muslim tidak akan terbentuk secara kokoh dan rapih kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah, dan tatanan Islam. Tujuan ini dapat tercapai dengan menumbuhkan 'semangat masjid'.
Di antara sistem dan prinsip Islam ialah tersebarnya ikatan ukhuwah dan mahabbah sesama kaum Muslimin. Ikatan ini akan tercapai dengan bertemunya kaum Muslimin setiap hari dan berkali-kali dalam rumah Allah swt sampai terhapusnya perbedaan pangkat, kedudukan, kekayaan serta status dan atribut lainnya. Semangat persamaan dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan akan terwujud dengan tersusunnya kaum Muslimin berkali-kali dan setiap hari dalam satu shaff di rumah Allah swt. Kesatuan kaum Muslimin hanya akan terwujud dengan disatukannya mereka dalam tali Allah swt yang terbentuk dengan kebersamaan mereka dalam berdiri, ruku, dan sujud di rumah Allah swt, dengan mempelajari dan menerapkan syari'at-Nya secara sempurna.
Asas kedua adalah ukhuwah sesama kaum Muslimin.
Negara manapun tidak akan berdiri tegak tanpa adanya kesatuan dan dukungan ummatnya, sedangkan kesatuan tidak akan lahir tanpa adanya persaudaraan dan saling mencintai. Suatu jama'ah yang tidak disatukan dengan persaudaraan dan saling mencintai tidak akan mungkin dapat bersatu dalam suatu prinsip. Persaudaraan semacam ini harus didahului oleh aqidah yang menjadi ideologi dan faktor pemersatu. Persaudaraan antara dua orang yang berbeda aqidah dan ideologi adalah mimpi yang semu, dan karena itulah Rasulullah saw menjadikan aqidah sebagai asas persaudaraan yang menghimpun hati para sahabatnya dan menempatkannya dalam satu barisan ubudiyah hanya kepada Allah swt tanpa perbedaan apapun kecuali iman dan amal shaleh. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa asas ukhuwah ialah ikatan Islam.
Asas ketiga adalah perjanjian antara kaum Muslimin dengan orang di luar Islam.
Perjanjian atau dalam istilah modern disebut 'dustur' yang dibuat Rasulullah saw berdasarkan kepada wahyu Allah yang dijadikan sebagai Qanun Azasi yang disepakati menunjukkan bahwa masyarakat Islam sejak awal masa pertumbuhannya tegak berdasarkan perundang-undangan yang sempurna. Hal ini merupakan satu bukti bahwa Negara Islam sejak awal berdirinya telah ditopang oleh perangkat perundang-undangan dan manajemen yang diperlukan oleh setiap negara.
Perangkat ini merupakan asas yang diperlukan bagi setiap pelaksanaan hukum-hukum syari'at Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, hukum-hukum syari'at tersebut secara umum didasarkan kepada pemikiran kesatuan ummat Islam dan masalah-masalah struktural lainnya yang berkaitan dengannya. Negara tidak akan terwujud manakala sistem perundang-undangan tersebut tidak ada.
Negara Islam Madinah yang dibangun oleh Rasulullah saw dari semenjak berdirinya sudah dihadapkan pada situasi konfrontatif dengan kekuasaan kafir Quraisy di Makkah. Para pendukung Darun Nadwah tidak rela melihat Daulah Islam yang dibangun Rasulullah saw tampil menjadi satu kekuatan yang bisa mengancam eksistensi mereka. Mereka kemudian mengeluarkan keputusan bersama untuk menggalang dan mengerahkan seluruh kekuatan bersenjata untuk menghancurkan Madinah, sebagaimana yang kemudian diinformasikan Allah melalui surat al-Anfal (8):30 kepada Nabi-Nya saw.
Menyadari kenyataan seperti itu Rasulullah saw tidak tinggal diam, beliau segera mempersiapkan masyarakat Madinah untuk memiliki kesiapan dalam menahan dan menggagalkan setiap usaha invasi Makkah ke Madinah. Dalam Piagam Madinah sudah diatur bagaimana kewajiban setiap warga untuk mempertahankan eksistensi Madinah dari setiap kemungkinan serbuan kekuatan Makkah. Bahkan semenjak sebelum hijrah ke Madinah Rasulullah saw sudah mempersiapkan kekuatan militer dengan melakukan bai'at aqabah kedua yang menuntut kesiapan dan kesanggupan Anshar untuk membela Rasulullah saw seperti membela anak dan isterinya, dalam satu peristiwa dramatik ketika Rasulullah saw didampingi Abbas bin Abdul Muthalib menemui 74 orang delegasi Madinah di Aqabah. Apalagi pada saat itu telah turun wahyu kepada beliau saw yang isinya izin dari Allah untuk mengangkat senjata bagi orang yang diperangi (al-Hajj (22):39).
Allah swt berfirman dalam ayat tersebut, "Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka."
Kenyataan ini semakin dipertegas dengan diturunkannya surat al-Baqarah (2):216, "Diwajibkan atas kamu berperang...". Dengan turunnya ayat tersebut Rasulullah saw dan para sahabatnya di kalangan Muhajir dan Anshar memiliki landasan wahyu untuk melakukan upaya perlawanan dalam rangka membela diri dan mempertahankan eksistensi Negara Islam Madinah dari setiap agresi militer pihak kafir Quraisy. Ayat tersebut juga mengakhiri periode pertama masyarakat Madinah. Masa yang penuh dengan langkah persiapan Rasulullah saw dalam membina masyarakat Madinah, meletakkan asas-asas masyarakat Muslim, membina kesiapan dan ketangguhan mereka untuk mempertahankan eksistensi Madinah sebagai wujud dari zhohirnya Mulkiyah Allah swt.

Periode Kedua

Periode kedua masyarakat Madinah dihiasi dengan berbagai perisitwa heroik ummat Islam dalam mempertahankan Daulah Islam dari setiap agresi militer pihak kuffar. Masing-masing peperangan ini merupakan tindak balasan atau counter attack terhadap persekongkolan atau permusuhan yang dilancarkan pihak kuffar dan musyrik. Pembahasan periode kedua masyarakat Madinah dalam tulisan ini akan ditekankan kepada beberapa peristiwa penting saja. Bahasan tersebut untuk menunjukkan bagaimana gigihnya usaha Rasulullah saw dan para sahabatnya dalam mempertahankan eksistensi Madinah dan sebagian besar pasukan pemanah yang turun membantu kawan-kawannya ke kancah pertempuran dengan meninggalkan posnya.
Kejadian ini dimanfaatkan Khalid bin Walid dan Ikrimah untuk mengadakan serangan balik terhadap kaum Muslimin yang mengakibatkan terdesaknya pasukan kaum Muslimin. Rasulullah saw sendiri sampai terperosok ke dalam lubang dan menderita luka di bagian wajahnya oleh hantaman batu dan lemparan tombak musuh. Para sahabat seperti Abu Dujanah, Ziyad bin Sakkan dan Ali bin Abi Thalib menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup untuk melindungi Rasulullah saw. Abu Dujanah syahid, Ziyad bin Sakan syahid bahkan menghembuskan nafas terakhirnya di kaki Rasulullah saw. Hamzah syahid dengan perut terbelah dan hidung serta telinga putus.
Keadaan tersebut diperkeruh dengan desas-desus yang muncul dari kaum Munafiq yang mengatakan Rasulullah saw wafat dan mereka menghasut sahabat lain untuk lari dari peperangan. Mereka mengatakan, "Buat apa kalian berperang untuk mencari kematian, toh Muhammad sudah mati?"
Anas bin Nadhar yang mendengar seruan tersebut berteriak, "Buat apa kalian hidup jika Rasulullah saw sudah wafat?" Lalu dia kemudian menghumus pedangnya dan menghambur ke tengah pasukan Quraisy sehingga menemukan kesyahidan. Peristiwa ini semakin menunjukkan karakteristik dan figur-figur Munafiq di kalangan penduduk Madinah di sekitar Rasulullah saw. Sepulangnya dari Uhud kaum Munafiq semakin gencar menghina dan mengejek kaum Muslimin dengan ungkapan yang menghinakan. Celotehan mereka dikomentari al-Qur'an dengan ungkapan, "Dan orang-orang yang tidak turut dalam berperang itu berkata: 'Sekiranya mereka mengikuti kita tentulah mereka tidak terbunuh'. Katakanlah: 'Tolaklah kematian itu darimu jika kamu orang-orang yang benar'." (Qs.Ali-'Imran (3):168)
Sikap bermusuhan orang Munafiq semakin kentara dengan terjadinya fitnah terhadap Siti Aisyah ra, yang dalam sejarah dikenal dengan peristiwa Haditsul Ifki. Dalam peristiwa ini Siti Aisyah ra difitnah terlibat perselingkuhan dengan Shafwan bin Mu'athal seorang sahabat Rasulullah saw setelah peperangan Bani Musthaliq. Berita bohong tersebut disebarkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul seorang gembong Munafiq di zaman Nabi. Peristiwa tersebut ditegaskan dalam surat an-Nur (24):11-21.
Puncak permusuhan kalangan kufar Quraisy dan Musyrikin Makkah dengan kalangan Munafiq Madinah serta Yahudi terjadi dalam peristiwa peperangan Ahzab atau Khandaq. Menurut Ibnu Ishaq dan Jumhur Ulama sirah peperangan ini berlangsung pada bulan Syawal tahun 5H, ada juga yang mengatakan tahun 4H. Peristiwa Ahzab sendiri diawali dengan pengkhianatan Yahudi Bani Nadhir yang berangkat ke Makkah dan mendorong Quraisy untuk melancarkan perang terhadap Rasulullah saw. Dalam peristiwa ini pasukan Ahzab yang terdiri dari kufar Quraisy dan Musyrikin Makkah mengepung Madinah selama lima hari, karena mereka tidak bisa berlanjut menyerbu Madinah akibat terhalang parit yang digali kaum Muslimin di sekeliling Madinah. Pengepungan pasukan Ahzab sendiri akhirnya bubar setelah terjadi perpecahan intern yang disebabkan muslihat 'adu domba' Rasulullah saw. Muslihat tersebut dilakukan oleh Nu'aim bin Mas'ud, seorang Muslim yang tidak diketahui keislamannya, untuk memecah belah persatuan pasukan Ahzab. Pertolongan Allah berupa topan memporak-porandakan pasukan tersebut, kemah-kemah mereka runtuh, sarana dan prasarana mereka porak-poranda dilanda topan yang besar. Kesemuanya memaksa mereka untuk angkat kaki dari Madinah.
Dari peristiwa tersebut nampak beberapa ibrah, antara lain bahwa:
1) Kaum Muslimin tidak boleh mengabaikan akalnya yang merdeka dan pikiran yang cermat untuk mengatasi hambatan. Mereka harus fathonah sepanjang cara tersebut tidak melanggar syar'i. Hal ini ditunjukkan dengan syiasah perang yang dilakukan dengan penggalian parit yang merupakan usulan Salman al-Farisi. Satu bentuk taktik perang yang saat itu belum dikenal oleh bangsa Arab. Sehingga Abu Sufyan mengatakan "Demi Allah, ini bukan cara berperang bangsa Arab" ketika pasukannya menemui hambatan berupa parit.
2) Kaum Muslimin adalah satu ikatan komunitas tauhid yang sederajat, yang ditunjukkan dengan kebersamaan mereka dalam penggalian parit. Rasulullah saw sendiri sebagai seorang pimpinan turun tangan untuk bersama-sama menggali parit, bahkan ketika kaum Muslimin terhambat penggaliannya dengan adanya batu besar yang tidak bisa dihancurkan, Rasulullah saw yang turun menghancurkannya.
3) Dalam peristiwa tersebut juga terlihat bagaimana sikap Rasulullah saw yang melakukan test case untuk mengetahui kesiapan para sahabatnya dengan menawarkan kepada para sahabat untuk mencari jalan damai dengan suku Ghataffan. Sikap para sahabat yang menolak usulan tersebut menjadikan indikasi kesiapan mereka untuk bertempur habis-habisan yang menjadikan dasar objektif kesiapan mereka. Karena seorang pimpinan tidak boleh membawa pengikutnya ke dalam kancah pertempuran yang sengit tanpa pemahaman yang jelas dari pengikutnya akan resiko tindakan tersebut.
4) Pertolongan Allah akan senantiasa diberikan manakala ummat penegak risalah-Nya tetap konsisten, sabar, ikhlas, dan tawakkal dalam menghadapi berbagai kendala dan hambatan dalam menegakkan munculnya karakteristik Munafiq di Madinah serta pengkhianatan Yahudi terhadap naskah perjanjian yang telah disetujui.
Dari peristiwa dalam Perang Badar dapat diambil satu ibrah penting, yaitu: Perang Badar merupakan tarbiyah illallah bagi kaum Muslimin yang dengan jelas tergambar dalam firman Allah dalam surat al-Anfal (8):7, "Dan ingatlah ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar (membuktikan kebenaran) dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang Kafir."
Pada awalnya kaum Muslimin keluar dari Madinah untuk menghadang kafilah dagang Abu Sufyan yang datang dari Syam. Tetapi Allah menghendaki ghanimah dan kemenangan yang lebih besar lagi bagi hamba-Nya, di samping merupakan tindakan yang jauh lebih mulia dan lebih sejalan dengan tujuan yang harus dicapai kaum Muslimin. Allah meloloskan kafilah dagang Abu Sufyan dan justru menghadapkan kaum Muslimin dengan peperangan yang tidak pernah mereka duga. Peristiwa ini menunjukkan bahwa harta kuffar adalah halal untuk dirampas oleh kaum Muslimin manakala mereka mampu untuk mengambilnya. Hukum ini telah disepakati para fuqaha. Akan tetapi kendatipun hal ini diperbolehkan, Allah menghendaki langkah yang lebih mulia dengan cara berjihad dan berkorban harta bahkan jiwa di jalan-Nya. Al-Maut ayyatu hubbi shadiq (Mati adalah bukti cinta yang paling tinggi).
Para sahabat yang terguncang hatinya dengan kondisi tiba-tiba yang dihadapinya ditenangkan Allah dengan ungkapan Rasulullah saw yang menegaskan bahwa kemenangan telah diperoleh kaum Muslimin. Bahkan Rasulullah saw menunjukkan tempat-tempat di mana dan siapa saja yang akan roboh terbunuh dalam peperangan tersebut. Sekalipun demikian Rasulullah saw sepanjang malam menjelang pertempuran tersebut berlangsung tetap berdiri dalam kemahnya untuk bermunajat kepada Allah memohon kemenangan diberikan kepada kaum Muslimin. Satu sikap ubudiyah yang menghantarkan manusia kepada kedekatan dengan Allah swt, sikap merendahkan diri di hadapan Allah yang mengundang datangnya pertolongan Allah kepada hamba-Nya. Segala musibah yang diterima hanyalah mengharuskan manusia berlari kepada Allah untuk menyerahkan diri dan mengakui kelemahan dirinya di hadapan Khaliq yang Maha Perkasa. Itulah sikap ubudiyah Nabi yang merupakan harga yang harus dibayar untuk sebuah pertolongan Allah, "Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu. Sesungguhnya akan Aku datangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu Malaikat yang datang secara gelombang." (Qs.8:9)
Pada periode kedua ini kaum Muslimin dihadapkan pada sikap pengkhianatan Yahudi (Bani Qainuqa) terhadap perjanjian di antara penduduk Madinah. Peristiwa ini menurut Ibnu Hisyam yang diriwayatkan dari Abdullah bin Ja'far adalah diawali dengan penghinaan sekelompok Yahudi terhadap seorang wanita Muslimah. Akibat tindakan tersebut orang Yahudi tersebut dibunuh oleh seorang Muslim yang mengetahui dan menyaksikan bagaimana aurat bagian belakang wanita Muslimah tersebut tersingkap akibat perbuatan seorang tukang sepuh Yahudi yang mengkaitkan pakaian Muslimah tersebut. Laki-laki kaum Muslimin tersebut kemudian dikeroyok oleh orang-orang Yahudi di pasar tersebut sehingga syahid. Ketika Rasulullah saw akan menghukum kaum Yahudi tersebut Abdullah bin Ubay datang menghalangi Rasul menjatuhkan hukuman sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Rasulullah kemudian mengusir Yahudi Banu Qainuqa dari Madinah. Peristiwa ini dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-Maidah (5):51-52 tentang larangan mengambil orang Yahudi sebagai pemimpin.
Peristiwa ini hanyalah menunjukkan bagaimana kedengkian di kalangan orang Yahudi sudah berurat berakar dalam hati mereka, sehingga ketika ummat Islam memperoleh kemenangan dalam peperangan Badar kebencian tersebut mencuat ke luar. Kedengkian mereka terlihat dengan sikap pongah Yahudi yang meremehkan kemenangan ummat Islam dan tindakan jahat mereka dalam peristiwa di atas. Peristiwa tersebut di atas juga menunjukkan bagaimana sikap Munafiq yang menyimpan kedengkian dan kebencian terhadap Islam dan kaum Muslimin. Tetapi kendati demikian peristiwa tersebut juga mengajarkan bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim terhadap seorang Munafiq. Islam memiliki dua aspek hukum, yaitu hukum syar'i yang diterapkan di dunia di bawah kendali seorang khalifah dan hukum Allah kelak di Yaumul Akhir di hadapan mahkamah pengadilan Allah yang Maha Adil. Seorang Munafiq seperti Abdullah bin Ubay tetap diperlakukan sebagai seorang Muslim, bahkan permintaannya untuk membebaskan Yahudi Qainuqa yang melanggar perjanjian dengan Rasul diluluskan. Aspek hukum pertama harus didasarkan kepada bukti empirik dan fakta nyata, sedangkan aspek ruhaniah Allah-lah yang akan menghukumnya kelak di pengadilan Illahi di negeri Akhirat.
Peperangan Uhud adalah kejahatan pahit yang diderita oleh kaum Muslimin, akan tetapi peperangan ini juga menunjukkan bagaimana kecintaan para sahabat terhadap pemimpinnya Nabiyullah Muhammad saw. Ketika kemenangan kaum Muslimin berubah menjadi bencana akibat ketelodoran risalah-Nya. Sikap tersebut di atas hanyalah akan wujud dengan adanya bekal aqidah yang benar dalam dada setiap Muslim.
Periode kedua ini berakhir dengan ditanda-tanganinya naskah Perjanjian Hudaibiyah pada bulan Dzulqaidah di penghujung tahun 6H. Peristiwa ini sesungguhnya merupakan tadbir Illahi yang merupakan rahasia Illahi. Oleh karena itu alangkah wajarnya jika kaum Muslimin yang hadir di peristiwa tersebut sama terkejut dan terperanjat melihat peristiwa tersebut, dikarenakan mereka lebih banyak mengandalkan pemikiran dan pertimbangan sendiri. Perdamaian ini hakekatnya adalah muqadimah menuju kepada futuh Makkah. Segera setelah perdamaian tersebut ditanda-tangani dan diumumkan, maka terjadilah gelombang da'wah yang luar biasa di kalangan penduduk Madinah dan sekitarnya. Ummat Islam memiliki keleluasaan untuk menjelaskan tentang Islam dan melancarkan da'wah yang universal. Sehingga ummat yang masuk ke dalam barisan Rasulullah saw bahkan lebih banyak dari sebelum peristiwa itu terjadi. Oleh sebab itulah al-Qur'an menamai peristiwa ini sebagai fathan mubina (Qs.48:1).
Hikmah lainnya adalah, dengan peristiwa tersebut Allah menunjukkan perbedaan yang sangat jelas antara wahyu dan rekayasa pemikiran manusia, antara bimbingan Nabi dan pemikiran seorang jenial, antara ilham Illahi yang datang dari alam luar sebab-akibat dan memperturutkan sebab-akibat. Barangkali inilah salah satu bentuk ungkapan al-Qur'an: "Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat" satu bentuk pertolongan yang unik, yang merupakan rekayasa Illahi, sehingga menyentak setiap akal manusia, karena kesemuanya merupakan tadbir Illah yang hanya akan difahami oleh manusia seperti Nabi saw yang berjalan, berucap, dan berbuatnya senantiasa di bawah bimbingan wahyu. Wallahu'alam.


Daftar Pustaka
1) Achmad Sunarto, Fiqhus Shirah. Penerbit Asyifaa; Semarang.
2) Abdul Azis Thaba, MA., Islam dan Negara: Dalam Politik Orde Baru. Penerbit Gema Insani Press; Jakarta.
3) Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, Sirah Nabawiyah. Penerbit Rabbani Press; Jakarta.