Madinah adalah nama pengganti dari Yatsrib yang diberikan oleh Rasulullah
saw, secara etimologis Madinah sendiri merupakan kata benda yang menunjukkan
tempat yang artinya adalah tempat yang dikuasai. Nama Yatsrib sendiri
diberikan oleh orang-orang Jahiliyyah, sedangkan Allah swt menamainya
Thayyibah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Samurah yang mengatakan
"Orang Jahiliyyah dulu menyebut Madinah dengan Yatsrib, kemudian
Rasulullah saw menyebutnya Thayyibah."
Perubahan nama tersebut dilakukan Rasulullah saw segera setelah beliau
hijrah dari Makkah ke Yatsrib. Hijrah itu sendiri merupakan langkah
awal proses terbentuknya Daulah Islamiyah pertama di muka bumi pada
saat itu. Hijrah itu merupakan pernyataan berdirinya Negara Islam Madinah
di bawah pimpinan Rasulullah Muhammad saw. Sistem yang dibangun Rasulullah
saw di Madinah memenuhi syarat-syarat nominal untuk disebut sebagai
sebuah negara.
Tulisan ini bermaksud memotret bagaimana kondisi masyarakat Madinah
pasca hijrah Rasulullah saw; yang dimaksud dengan masyarakat Madinah
dalam tulisan ini adalah masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah saw
dalam satu ikatan Tauhid dengan sistem pemerintahan Islam. Secara umum
masyarakat Madinah pasca hijrah dapat dibagi menjadi empat periode,
yaitu:
1) Periode pertama dari mulai hijrahnya Rasulullah saw sampai masa Qital
membela diri.
2) Periode kedua dari mulai masa qital membela diri sampai dengan teratifikasinya
Perjanjian Hudaibiyah.
3) Periode ketiga dari mulai diratifikasinya naskah Perjanjian Hudaibiyah
sampai dengan terjadinya pembukaan kota Makkah (futuh Makkah).
4) Periode keempat keadaan masyarakat Madinah pasca futuh.
Sesuai dengan judul tulisan ini, maka yang akan dibahas adalah keadaan
masyarakat Madinah dalam dua periode pertama.
Periode Pertama
Periode pertama ini berlangsung selama kurang lebih dua tahun, dimulai
dari bulan Rabi'ul awal tahun 1H sampai dengan bulan Rajab tahun 2H.
Selama rentang waktu ini Rasulullah saw menerapkan asas-asas penting
dari Negara Islam Madinah.
Asas yang pertama adalah pembangunan masjid.
Pembangunan masjid merupakan langkah pertama Rasulullah saw untuk menegakkan
masyarakat Islam yang kokoh dan terpadu yang terdiri dari kaum Anshar
dan Muhajirin. Hal ini dikarenakan masyarakat Muslim tidak akan terbentuk
secara kokoh dan rapih kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem,
aqidah, dan tatanan Islam. Tujuan ini dapat tercapai dengan menumbuhkan
'semangat masjid'.
Di antara sistem dan prinsip Islam ialah tersebarnya ikatan ukhuwah
dan mahabbah sesama kaum Muslimin. Ikatan ini akan tercapai dengan
bertemunya kaum Muslimin setiap hari dan berkali-kali dalam rumah Allah
swt sampai terhapusnya perbedaan pangkat, kedudukan, kekayaan serta
status dan atribut lainnya. Semangat persamaan dan keadilan dalam setiap
aspek kehidupan akan terwujud dengan tersusunnya kaum Muslimin berkali-kali
dan setiap hari dalam satu shaff di rumah Allah swt. Kesatuan
kaum Muslimin hanya akan terwujud dengan disatukannya mereka dalam tali
Allah swt yang terbentuk dengan kebersamaan mereka dalam berdiri, ruku,
dan sujud di rumah Allah swt, dengan mempelajari dan menerapkan syari'at-Nya
secara sempurna.
Asas kedua adalah ukhuwah sesama kaum Muslimin.
Negara manapun tidak akan berdiri tegak tanpa adanya kesatuan dan dukungan
ummatnya, sedangkan kesatuan tidak akan lahir tanpa adanya persaudaraan
dan saling mencintai. Suatu jama'ah yang tidak disatukan dengan persaudaraan
dan saling mencintai tidak akan mungkin dapat bersatu dalam suatu prinsip.
Persaudaraan semacam ini harus didahului oleh aqidah yang menjadi ideologi
dan faktor pemersatu. Persaudaraan antara dua orang yang berbeda aqidah
dan ideologi adalah mimpi yang semu, dan karena itulah Rasulullah saw
menjadikan aqidah sebagai asas persaudaraan yang menghimpun hati para
sahabatnya dan menempatkannya dalam satu barisan ubudiyah hanya
kepada Allah swt tanpa perbedaan apapun kecuali iman dan amal shaleh.
Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa asas ukhuwah ialah ikatan Islam.
Asas ketiga adalah perjanjian antara kaum Muslimin dengan orang di
luar Islam.
Perjanjian atau dalam istilah modern disebut 'dustur' yang dibuat Rasulullah
saw berdasarkan kepada wahyu Allah yang dijadikan sebagai Qanun Azasi
yang disepakati menunjukkan bahwa masyarakat Islam sejak awal masa pertumbuhannya
tegak berdasarkan perundang-undangan yang sempurna. Hal ini merupakan
satu bukti bahwa Negara Islam sejak awal berdirinya telah ditopang oleh
perangkat perundang-undangan dan manajemen yang diperlukan oleh setiap
negara.
Perangkat ini merupakan asas yang diperlukan bagi setiap pelaksanaan
hukum-hukum syari'at Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, hukum-hukum
syari'at tersebut secara umum didasarkan kepada pemikiran kesatuan ummat
Islam dan masalah-masalah struktural lainnya yang berkaitan dengannya.
Negara tidak akan terwujud manakala sistem perundang-undangan tersebut
tidak ada.
Negara Islam Madinah yang dibangun oleh Rasulullah saw dari semenjak
berdirinya sudah dihadapkan pada situasi konfrontatif dengan kekuasaan
kafir Quraisy di Makkah. Para pendukung Darun Nadwah tidak rela
melihat Daulah Islam yang dibangun Rasulullah saw tampil menjadi satu
kekuatan yang bisa mengancam eksistensi mereka. Mereka kemudian mengeluarkan
keputusan bersama untuk menggalang dan mengerahkan seluruh kekuatan
bersenjata untuk menghancurkan Madinah, sebagaimana yang kemudian diinformasikan
Allah melalui surat al-Anfal (8):30 kepada Nabi-Nya saw.
Menyadari kenyataan seperti itu Rasulullah saw tidak tinggal diam, beliau
segera mempersiapkan masyarakat Madinah untuk memiliki kesiapan dalam
menahan dan menggagalkan setiap usaha invasi Makkah ke Madinah. Dalam
Piagam Madinah sudah diatur bagaimana kewajiban setiap warga
untuk mempertahankan eksistensi Madinah dari setiap kemungkinan serbuan
kekuatan Makkah. Bahkan semenjak sebelum hijrah ke Madinah Rasulullah
saw sudah mempersiapkan kekuatan militer dengan melakukan bai'at
aqabah kedua yang menuntut kesiapan dan kesanggupan Anshar untuk
membela Rasulullah saw seperti membela anak dan isterinya, dalam satu
peristiwa dramatik ketika Rasulullah saw didampingi Abbas bin Abdul
Muthalib menemui 74 orang delegasi Madinah di Aqabah. Apalagi pada saat
itu telah turun wahyu kepada beliau saw yang isinya izin dari Allah
untuk mengangkat senjata bagi orang yang diperangi (al-Hajj (22):39).
Allah swt berfirman dalam ayat tersebut, "Telah diizinkan (berperang)
bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka."
Kenyataan ini semakin dipertegas dengan diturunkannya surat al-Baqarah
(2):216, "Diwajibkan atas kamu berperang...". Dengan
turunnya ayat tersebut Rasulullah saw dan para sahabatnya di kalangan
Muhajir dan Anshar memiliki landasan wahyu untuk melakukan upaya perlawanan
dalam rangka membela diri dan mempertahankan eksistensi Negara Islam
Madinah dari setiap agresi militer pihak kafir Quraisy. Ayat tersebut
juga mengakhiri periode pertama masyarakat Madinah. Masa yang penuh
dengan langkah persiapan Rasulullah saw dalam membina masyarakat Madinah,
meletakkan asas-asas masyarakat Muslim, membina kesiapan dan ketangguhan
mereka untuk mempertahankan eksistensi Madinah sebagai wujud dari zhohirnya
Mulkiyah Allah swt.
Periode Kedua
Periode kedua masyarakat Madinah dihiasi dengan berbagai perisitwa
heroik ummat Islam dalam mempertahankan Daulah Islam dari setiap agresi
militer pihak kuffar. Masing-masing peperangan ini merupakan tindak
balasan atau counter attack terhadap persekongkolan atau permusuhan
yang dilancarkan pihak kuffar dan musyrik. Pembahasan periode kedua
masyarakat Madinah dalam tulisan ini akan ditekankan kepada beberapa
peristiwa penting saja. Bahasan tersebut untuk menunjukkan bagaimana
gigihnya usaha Rasulullah saw dan para sahabatnya dalam mempertahankan
eksistensi Madinah dan sebagian besar pasukan pemanah yang turun membantu
kawan-kawannya ke kancah pertempuran dengan meninggalkan posnya.
Kejadian ini dimanfaatkan Khalid bin Walid dan Ikrimah untuk mengadakan
serangan balik terhadap kaum Muslimin yang mengakibatkan terdesaknya
pasukan kaum Muslimin. Rasulullah saw sendiri sampai terperosok ke dalam
lubang dan menderita luka di bagian wajahnya oleh hantaman batu dan
lemparan tombak musuh. Para sahabat seperti Abu Dujanah, Ziyad bin Sakkan
dan Ali bin Abi Thalib menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup untuk
melindungi Rasulullah saw. Abu Dujanah syahid, Ziyad bin Sakan
syahid bahkan menghembuskan nafas terakhirnya di kaki Rasulullah
saw. Hamzah syahid dengan perut terbelah dan hidung serta telinga
putus.
Keadaan tersebut diperkeruh dengan desas-desus yang muncul dari kaum
Munafiq yang mengatakan Rasulullah saw wafat dan mereka menghasut sahabat
lain untuk lari dari peperangan. Mereka mengatakan, "Buat apa
kalian berperang untuk mencari kematian, toh Muhammad sudah mati?"
Anas bin Nadhar yang mendengar seruan tersebut berteriak, "Buat
apa kalian hidup jika Rasulullah saw sudah wafat?" Lalu dia
kemudian menghumus pedangnya dan menghambur ke tengah pasukan Quraisy
sehingga menemukan kesyahidan. Peristiwa ini semakin menunjukkan karakteristik
dan figur-figur Munafiq di kalangan penduduk Madinah di sekitar Rasulullah
saw. Sepulangnya dari Uhud kaum Munafiq semakin gencar menghina dan
mengejek kaum Muslimin dengan ungkapan yang menghinakan. Celotehan mereka
dikomentari al-Qur'an dengan ungkapan, "Dan orang-orang yang
tidak turut dalam berperang itu berkata: 'Sekiranya mereka mengikuti
kita tentulah mereka tidak terbunuh'. Katakanlah: 'Tolaklah kematian
itu darimu jika kamu orang-orang yang benar'." (Qs.Ali-'Imran
(3):168)
Sikap bermusuhan orang Munafiq semakin kentara dengan terjadinya fitnah
terhadap Siti Aisyah ra, yang dalam sejarah dikenal dengan peristiwa
Haditsul Ifki. Dalam peristiwa ini Siti Aisyah ra difitnah terlibat
perselingkuhan dengan Shafwan bin Mu'athal seorang sahabat Rasulullah
saw setelah peperangan Bani Musthaliq. Berita bohong tersebut disebarkan
oleh Abdullah bin Ubay bin Salul seorang gembong Munafiq di zaman Nabi.
Peristiwa tersebut ditegaskan dalam surat an-Nur (24):11-21.
Puncak permusuhan kalangan kufar Quraisy dan Musyrikin Makkah dengan
kalangan Munafiq Madinah serta Yahudi terjadi dalam peristiwa peperangan
Ahzab atau Khandaq. Menurut Ibnu Ishaq dan Jumhur Ulama sirah
peperangan ini berlangsung pada bulan Syawal tahun 5H, ada juga yang
mengatakan tahun 4H. Peristiwa Ahzab sendiri diawali dengan pengkhianatan
Yahudi Bani Nadhir yang berangkat ke Makkah dan mendorong Quraisy untuk
melancarkan perang terhadap Rasulullah saw. Dalam peristiwa ini pasukan
Ahzab yang terdiri dari kufar Quraisy dan Musyrikin Makkah mengepung
Madinah selama lima hari, karena mereka tidak bisa berlanjut menyerbu
Madinah akibat terhalang parit yang digali kaum Muslimin di sekeliling
Madinah. Pengepungan pasukan Ahzab sendiri akhirnya bubar setelah terjadi
perpecahan intern yang disebabkan muslihat 'adu domba' Rasulullah saw.
Muslihat tersebut dilakukan oleh Nu'aim bin Mas'ud, seorang Muslim yang
tidak diketahui keislamannya, untuk memecah belah persatuan pasukan
Ahzab. Pertolongan Allah berupa topan memporak-porandakan pasukan tersebut,
kemah-kemah mereka runtuh, sarana dan prasarana mereka porak-poranda
dilanda topan yang besar. Kesemuanya memaksa mereka untuk angkat kaki
dari Madinah.
Dari peristiwa tersebut nampak beberapa ibrah, antara lain bahwa:
1) Kaum Muslimin tidak boleh mengabaikan akalnya yang merdeka dan pikiran
yang cermat untuk mengatasi hambatan. Mereka harus fathonah sepanjang
cara tersebut tidak melanggar syar'i. Hal ini ditunjukkan dengan syiasah
perang yang dilakukan dengan penggalian parit yang merupakan usulan
Salman al-Farisi. Satu bentuk taktik perang yang saat itu belum dikenal
oleh bangsa Arab. Sehingga Abu Sufyan mengatakan "Demi Allah,
ini bukan cara berperang bangsa Arab" ketika pasukannya menemui
hambatan berupa parit.
2) Kaum Muslimin adalah satu ikatan komunitas tauhid yang sederajat,
yang ditunjukkan dengan kebersamaan mereka dalam penggalian parit. Rasulullah
saw sendiri sebagai seorang pimpinan turun tangan untuk bersama-sama
menggali parit, bahkan ketika kaum Muslimin terhambat penggaliannya
dengan adanya batu besar yang tidak bisa dihancurkan, Rasulullah saw
yang turun menghancurkannya.
3) Dalam peristiwa tersebut juga terlihat bagaimana sikap Rasulullah
saw yang melakukan test case untuk mengetahui kesiapan para sahabatnya
dengan menawarkan kepada para sahabat untuk mencari jalan damai dengan
suku Ghataffan. Sikap para sahabat yang menolak usulan tersebut menjadikan
indikasi kesiapan mereka untuk bertempur habis-habisan yang menjadikan
dasar objektif kesiapan mereka. Karena seorang pimpinan tidak boleh
membawa pengikutnya ke dalam kancah pertempuran yang sengit tanpa pemahaman
yang jelas dari pengikutnya akan resiko tindakan tersebut.
4) Pertolongan Allah akan senantiasa diberikan manakala ummat penegak
risalah-Nya tetap konsisten, sabar, ikhlas, dan tawakkal dalam menghadapi
berbagai kendala dan hambatan dalam menegakkan munculnya karakteristik
Munafiq di Madinah serta pengkhianatan Yahudi terhadap naskah perjanjian
yang telah disetujui.
Dari peristiwa dalam Perang Badar dapat diambil satu ibrah penting,
yaitu: Perang Badar merupakan tarbiyah illallah bagi kaum Muslimin
yang dengan jelas tergambar dalam firman Allah dalam surat al-Anfal
(8):7, "Dan ingatlah ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa
salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang
kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang
untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar (membuktikan
kebenaran) dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang Kafir."
Pada awalnya kaum Muslimin keluar dari Madinah untuk menghadang kafilah
dagang Abu Sufyan yang datang dari Syam. Tetapi Allah menghendaki ghanimah
dan kemenangan yang lebih besar lagi bagi hamba-Nya, di samping merupakan
tindakan yang jauh lebih mulia dan lebih sejalan dengan tujuan yang
harus dicapai kaum Muslimin. Allah meloloskan kafilah dagang Abu Sufyan
dan justru menghadapkan kaum Muslimin dengan peperangan yang tidak pernah
mereka duga. Peristiwa ini menunjukkan bahwa harta kuffar adalah halal
untuk dirampas oleh kaum Muslimin manakala mereka mampu untuk mengambilnya.
Hukum ini telah disepakati para fuqaha. Akan tetapi kendatipun hal ini
diperbolehkan, Allah menghendaki langkah yang lebih mulia dengan cara
berjihad dan berkorban harta bahkan jiwa di jalan-Nya. Al-Maut ayyatu
hubbi shadiq (Mati adalah bukti cinta yang paling tinggi).
Para sahabat yang terguncang hatinya dengan kondisi tiba-tiba yang dihadapinya
ditenangkan Allah dengan ungkapan Rasulullah saw yang menegaskan bahwa
kemenangan telah diperoleh kaum Muslimin. Bahkan Rasulullah saw menunjukkan
tempat-tempat di mana dan siapa saja yang akan roboh terbunuh dalam
peperangan tersebut. Sekalipun demikian Rasulullah saw sepanjang malam
menjelang pertempuran tersebut berlangsung tetap berdiri dalam kemahnya
untuk bermunajat kepada Allah memohon kemenangan diberikan kepada kaum
Muslimin. Satu sikap ubudiyah yang menghantarkan manusia kepada
kedekatan dengan Allah swt, sikap merendahkan diri di hadapan Allah
yang mengundang datangnya pertolongan Allah kepada hamba-Nya. Segala
musibah yang diterima hanyalah mengharuskan manusia berlari kepada Allah
untuk menyerahkan diri dan mengakui kelemahan dirinya di hadapan Khaliq
yang Maha Perkasa. Itulah sikap ubudiyah Nabi yang merupakan harga yang
harus dibayar untuk sebuah pertolongan Allah, "Ingatlah ketika
kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu.
Sesungguhnya akan Aku datangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu
Malaikat yang datang secara gelombang." (Qs.8:9)
Pada periode kedua ini kaum Muslimin dihadapkan pada sikap pengkhianatan
Yahudi (Bani Qainuqa) terhadap perjanjian di antara penduduk Madinah.
Peristiwa ini menurut Ibnu Hisyam yang diriwayatkan dari Abdullah bin
Ja'far adalah diawali dengan penghinaan sekelompok Yahudi terhadap seorang
wanita Muslimah. Akibat tindakan tersebut orang Yahudi tersebut dibunuh
oleh seorang Muslim yang mengetahui dan menyaksikan bagaimana aurat
bagian belakang wanita Muslimah tersebut tersingkap akibat perbuatan
seorang tukang sepuh Yahudi yang mengkaitkan pakaian Muslimah tersebut.
Laki-laki kaum Muslimin tersebut kemudian dikeroyok oleh orang-orang
Yahudi di pasar tersebut sehingga syahid. Ketika Rasulullah saw akan
menghukum kaum Yahudi tersebut Abdullah bin Ubay datang menghalangi
Rasul menjatuhkan hukuman sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Rasulullah
kemudian mengusir Yahudi Banu Qainuqa dari Madinah. Peristiwa ini dijelaskan
dalam al-Qur'an surat al-Maidah (5):51-52 tentang larangan mengambil
orang Yahudi sebagai pemimpin.
Peristiwa ini hanyalah menunjukkan bagaimana kedengkian di kalangan
orang Yahudi sudah berurat berakar dalam hati mereka, sehingga ketika
ummat Islam memperoleh kemenangan dalam peperangan Badar kebencian tersebut
mencuat ke luar. Kedengkian mereka terlihat dengan sikap pongah Yahudi
yang meremehkan kemenangan ummat Islam dan tindakan jahat mereka dalam
peristiwa di atas. Peristiwa tersebut di atas juga menunjukkan bagaimana
sikap Munafiq yang menyimpan kedengkian dan kebencian terhadap Islam
dan kaum Muslimin. Tetapi kendati demikian peristiwa tersebut juga mengajarkan
bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim terhadap seorang Munafiq.
Islam memiliki dua aspek hukum, yaitu hukum syar'i yang diterapkan di
dunia di bawah kendali seorang khalifah dan hukum Allah kelak
di Yaumul Akhir di hadapan mahkamah pengadilan Allah yang Maha
Adil. Seorang Munafiq seperti Abdullah bin Ubay tetap diperlakukan sebagai
seorang Muslim, bahkan permintaannya untuk membebaskan Yahudi Qainuqa
yang melanggar perjanjian dengan Rasul diluluskan. Aspek hukum pertama
harus didasarkan kepada bukti empirik dan fakta nyata, sedangkan aspek
ruhaniah Allah-lah yang akan menghukumnya kelak di pengadilan Illahi
di negeri Akhirat.
Peperangan Uhud adalah kejahatan pahit yang diderita oleh kaum Muslimin,
akan tetapi peperangan ini juga menunjukkan bagaimana kecintaan para
sahabat terhadap pemimpinnya Nabiyullah Muhammad saw. Ketika kemenangan
kaum Muslimin berubah menjadi bencana akibat ketelodoran risalah-Nya.
Sikap tersebut di atas hanyalah akan wujud dengan adanya bekal aqidah
yang benar dalam dada setiap Muslim.
Periode kedua ini berakhir dengan ditanda-tanganinya naskah Perjanjian
Hudaibiyah pada bulan Dzulqaidah di penghujung tahun 6H. Peristiwa ini
sesungguhnya merupakan tadbir Illahi yang merupakan rahasia Illahi.
Oleh karena itu alangkah wajarnya jika kaum Muslimin yang hadir di peristiwa
tersebut sama terkejut dan terperanjat melihat peristiwa tersebut, dikarenakan
mereka lebih banyak mengandalkan pemikiran dan pertimbangan sendiri.
Perdamaian ini hakekatnya adalah muqadimah menuju kepada futuh
Makkah. Segera setelah perdamaian tersebut ditanda-tangani dan diumumkan,
maka terjadilah gelombang da'wah yang luar biasa di kalangan penduduk
Madinah dan sekitarnya. Ummat Islam memiliki keleluasaan untuk menjelaskan
tentang Islam dan melancarkan da'wah yang universal. Sehingga ummat
yang masuk ke dalam barisan Rasulullah saw bahkan lebih banyak dari
sebelum peristiwa itu terjadi. Oleh sebab itulah al-Qur'an menamai peristiwa
ini sebagai fathan mubina (Qs.48:1).
Hikmah lainnya adalah, dengan peristiwa tersebut Allah menunjukkan perbedaan
yang sangat jelas antara wahyu dan rekayasa pemikiran manusia, antara
bimbingan Nabi dan pemikiran seorang jenial, antara ilham Illahi yang
datang dari alam luar sebab-akibat dan memperturutkan sebab-akibat.
Barangkali inilah salah satu bentuk ungkapan al-Qur'an: "Dan
supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat" satu
bentuk pertolongan yang unik, yang merupakan rekayasa Illahi, sehingga
menyentak setiap akal manusia, karena kesemuanya merupakan tadbir Illah
yang hanya akan difahami oleh manusia seperti Nabi saw yang berjalan,
berucap, dan berbuatnya senantiasa di bawah bimbingan wahyu. Wallahu'alam.
Daftar Pustaka
1) Achmad Sunarto, Fiqhus Shirah. Penerbit Asyifaa;
Semarang.
2) Abdul Azis Thaba, MA., Islam dan Negara: Dalam Politik Orde
Baru. Penerbit Gema Insani Press; Jakarta.
3) Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, Sirah Nabawiyah.
Penerbit Rabbani Press; Jakarta. |